Minggu, 29 Desember 2013

PERANAN PENYULUHAN KEHUTANAN DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN

PERANAN PENYULUHAN PEMBANGUNAN

Mosher (1966) dalam Mardikanto (2010), menyatakan bahwa kegiatan penyuluhan pertanian sangat diperlukan sebagai faktor pelancar pembangunan pertanian.

Lebih dari itu, dengan mengutip pendapat Hadisapoetro (1970) dalam Mardikanto (2010) yang menyatakan bahwa pelaksana-utama pembangunan pertanian pada dasarnya adalah petani-kecil yang merupakan golongan ekonomi lemah. Mardikanto (1993) dalam Mardikanto (2010) justru menilai kegiatan penyuluhan sebagai faktor-kunci keberhasilan pembangunan pertanian, karena penyuluhan selalu hadir sebagai pemicu sekaligus pemacu pembangunan pertanian

Di samping itu, terkait dengan peran penyuluhan sebagai proses pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas individu, entitas dan jejaring (USAID, 1995), Mardikanto (1998) dalam Mardikanto (2010) mengemukakan beragam peran/tugas penyuluhan dalam satu kata yaitu edfikasi, yang merupakan akronim dari: edukasi, diseminasi informasi/inovasi, fasilitasi, konsultasi, supervisi, pemantauan dan evaluasi, yaitu:

1) Edukasi, yaitu untuk memfasilitasi proses belajar yang dilakukan oleh para penerima manfaat penyuluhan (beneficiaries) dan atau stakeholders pembangunan yang lainnya.
Seperti telah dikemukakan, meskipun edukasi berarti pendidikan, tetapi proses pendidikan tidak boleh menggurui apalagi memak-sakan kehendak (indoktrinasi, agitasi), melainkan harus benar-benar berlangsung sebagai proses belajar bersama yang partisi-patip dan dialogis.

2) Diseminasi Informasi/Inovasi, yaitu penyebarluasan informasi/ inovasi dari sumber informasi dan atau penggunanya.
Tentang hal ini, seringkali kegiatan penyuluhan hanya terpaku untuk lebih mengutamakan penyebaran informasi/inovasui dari pihak-luar. Tetapi, dalam proses pembangunan, informasi dari “dalam” seringkali justru lebih penting, utamanya yang terkait dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, pengambilan keputusan kebijakan dan atau pemecahan masalah yang segera memerlukan penanganan.

3) Fasilitasi, atau pendampingan, yang lebih bersifat melayani kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh client-nya.
Fungsi fasilitasi tidak harus selalu dapat mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan atau memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhan klien, tetapi seringkali justru hanya sebagai penengah/ mediator.

4) Konsultasi, yang tidak jauh berbeda dengan fasilitasi, yaitu membantu memecahkan masalah atau sekadar memberikan alternatif-alternatif pemecahan masalah.
Dalam melaksanakan peran konsultasi, penting untuk memberikan rujukan kepada pihak lain yang “lebih mampu” dan atau lebih kompeten untuk menanganinya. Dalam melaksanakan fungsi konsultasi, penyuluh tidak boleh hanya “menunggu” tetapi harus aktif mendatangi kliennya.

5) Supervisi, atau pembinaan. Dalam praktek, supervisi seringkali disalah-artikan sebagai kegiatan “pengawasan” atau “pemeriksaan”. Tetapi sebenarnya adalah, lebih banyak pada upaya untuk bersama-sama klien melakukan penilaian (self assesment), untuk kemudian memberikan saran alternatif perbaikan atau pemecahan masalah yang dihadapi.

6) Pemantauan, yaitu kegiatan evaluasi yang dilakukan selama proses kegiatan sedang berlangsung. Karena itu, pemantauan tidak jauh berbeda dengan supervisi. Bedanya adalah, kegiatan pemantauan lebih menonjolkan peran penilaian, sedang supervisi lebih menonjolkan peran “upaya perbaikan”.

7) Evaluasi, yaitu kegiatan pengukuran dan penilaian yang dapat dilakukan pada sebelum (formatif), selama (on-going, pemantauan) dan setelah kegiatan selesai dilakukan (sumatif, ex-post). Meskipun demikian, evaluasi seringkali hanya dilakukan setelah kegiatan selesai, untuk melihat proses hasil kegiatan (output), dan dampak (outcome) kegiatan, yang menyangkut kinerja (performance) baik teknis maupun finansialnya.

Terkait dengan hal ini, Undang Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pasal 4 merinci fungsi (peran) sistem penyuluhan sebagai berikut:
a. memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha;
b. mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi dan sumber daya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya;
c. meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha;
d. membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik dan berkelanjutan;
e. membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha;
f. menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian fungsi lingkungan; dan
g. melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan yang maju dan moderm bagi pelaku utama secara berkelanjutan.

KEDUDUKAN PENYULUHAN KEHUTANAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN

Mosher (1966) menyatakan bahwa kegiatan penyu-luhan pertanian sangat diperlukan sebagai faktor pelancar pembangunan kehutanan.
Lebih dari itu, dengan mengutip pendapat Hadisapoetro (1970) yang menyatakan bahwa pelaksana-utama pemba-ngunan pertanian pada dasarnya adalah petani-kecil yang merupakan golongan ekonomi-lemah, Mardikanto (1993) justru menilai kegiatan penyuluhan sebagai faktor-kunci keberhasilan pembangunan kehutanan.

Berbicara tentang kedudukan penyuluhan, Timmer (1983) dengan tepat menyebut nya sebagai “perantara” atau jembatan penghubung, yaitu penguhubung antara:

1) Teori dan praktek, terutama bagi kelompok sasaran (penerima manfaat) yang belum memahami “bahasa ilmu pengetahuan/teknologi”.
2) Pengalaman dan kebutuhan, yaitu antar dua kelompok yang setara seperti sesama praktisi, sesama tokoh masya-rakat, dll.
3) Penguasa dan masyarakat, terutama yang menyangkut pemecahan masalah dan atau kebijakan-kebijakan pembangunan.
4) Produsen dan pelanggan, terutama menyangkut produk-produk (sarana produksi, mesin/peralatan, dll.
5) Sumber informasi dan penggunanya, terutama terhadap masyarakat yang relatif masih tertutup atau kurang memiliki aksesibilitas terhadap informasi.
6) Antar sesama stakeholder agribisnis, dalam pengembang-an jejaring dan kemitraan-kerja, terutama dalam pertu-karan informasi.
7) Antara masyarakat (di dalam) dan “pihak luar”, kaitannya dengan kegiatan agribisnis dan atau pengembangan masyarakat dalam arti yang lebih luas.


Berkaitan dengan pemahaman tersebut, Lionberger (1981) meletakkan penyuluhan sebagai “variabel antara”, dalam pembangunan (kehutanan) yang bertujuan untuk memperbaiki kesejahteraan petani dan masyarakatnya.
Sebagai “variabel antara”, kegiatan penyuluhan merupakan jembatan dalam proses:

1) Distribusi informasi/inovasi, baik dari sumber (peneliti, pusat informasi, penentu kebijakan, produsen/pemasar, dll) kepada masyarakat yang membutuhkan dan akan menggunakannya, maupun sebaliknya, dari masyarakat/ praktisi kepada pakar, produsen, pengambil keputusan kebijakan, dll. umpan balik terhadap informasi/ inovasi yang telah disampaikan penyuluhnya.

2) Pemecahan masalah, yaitu sebagai fasilitator pemevahan masalah dan atau perantara informasi yang menyangkut masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, praktisi, pengguna dan pelanggan produk tertentu, kepada sumber informasi/inovasi/ produk maupun para penentu kebijakan pembangunan.

3) Pengambilan keputusan, yaitu sebagai fasilitator dan atau perantara informasi tentang kebijakan pembangunan dari pengambil keputusan (penguasa) kepada masyarakat dan atau perantara informasi dari masyarakat tentang kebijakan yang harus diputuskan oleh pihak luar (bukan oleh masyarakat sendiri).

ADOPSI DAN DIFUSI INOVASI DALAM PENYULUHAN KEHUTANAN

  A. KONSEP ADOPSI BAHLEN

Dalam model proses adopsi Bahlen ada 5 tahap yang dilalui sebelum seseorang mengadopsi suatu inovasi yaitu sadar (awreness),  minat (interest),  menilai (evaluation),  mencoba (trial) dan adopsi ( adoption).

  1. Tahap sadar: sasaran telah mengetahui informasi tetapi informasi tersebut   dirasa kurang.
  2. Tahap minat: sasaran mencari informasi atau keterangan lebih lanjut mengenai informasi tersebut.
  3. Tahap menilai: sasaran sudah menilai dengan cara value/bandingkan inovasi terhadap keadaan dirinya pada saat itu dan dimasa yang akan datang serta menentukan apakah petani sasaran mencoba inovasi atau tidak.
  4. Tahap mencoba: sasaran sudah mencoba meskipun dalam skala kecil untuk menentukan angka dan kesesuaian inovasi atau tidak.
  5. Tahap adopsi/menerapkan: sasaran sudah meyakini kebenaran inovasi dan inovasi tersebut dirasa bermanfaat baginya. Pada tahap ini petani sasaran menerapkan dalam jumlah/skala yang lebih besar.
Konsep adopsi digunakan secara meluas oleh peneliti dan penyuluh. Meskipun demikian model adopsi mempunyai beberapa kelemahan antara lain :
  1. Tidak semua proses tersebut di atas diakhiri dengan tahap adopsi, adakalanya berupa penolakan terhadap adopsi.
  2. Kelima tahap di atas terjadi tidak selalu berurutan.
  3. Suatu proses adopsi pada tahap akhir akan diikuti dengan konfirmasi yaitu dengan cara mencari lebih lanjut untuk memperkokoh keputusannya (terus mengadopsi) atau menerapkan inovasi lainnya (menolak)
B. Konsep Adopsi Rogers dan Schoemaker

Rogers dan Schoemaker (1992) menjelaskan bahwa proses adopsi dapat terjadi melalui 4 (empat) tahapan yaitu : tahap mengetahui (knowledge), persuasif (persuasive), mengambil keputusan (decision) dan konfirmasi (confirmation) yang selanjutnya diklasifikasikan menjadi empat tahap yaitu  :
  1. Tahap mengetahui : petani sasaran sudah mengetahui adanya inovasi dan mengerti bagaimana inovasi itu berfungsi.
  2. Tahap Persuasi  : petani sasaran sudah membentuk sikap terhadap inovasi yaitu apakah inovasi tersebut dianggap sesuai ataukah tidak sesuai bagi dirinya.
  3. Tahap Keputusan : petani sasaran sudah terlibat dalam pembuatan keputusan yaitu apakah menerima atau menolak inovasi.
  4. Tahap Konfirmasi:petani sasaran mencari penguat bagi keputusan inovasi yang telah dibuatnya. Mungkin pada tahap ini petani sasaran mengubah keputusan untuk menolak inovasi yang telah di adopsi sebelumnya.
C. Konsep Proses Adopsi Kellogg.

Model Adopsi Kellogg menyebutkan bahwa pada proses adopsi khususnya teknologi perikanan dapat dilakukan melalui beberapa langkah agar pelaku utama bersedia menerima/mengadopsi teknologi tersebut.  Model adopsi meliputi (4) empat tahap yaitu diagnosis, perencanaan dan rekayasa teknologi adaptif, pengujian dan verifikasi di tingkat usaha dan percobaan antar lokasi dan diseminasi.

MEDIA PENYULUHAN KEHUTANAN

  • MEDIA PENYULUHAN KEHUTANAN
  • Pengertian materi dan media penyuluhan kehutanan Ragam materi penyuluhan kehutanan Cara mengolah data untuk menyusun materi penyuluhan  Cara menyusun materi penyuluhan dalam bentuk : Verbal; naskah bahan penyuluhan  Media Cetak; al. leaflet,brosur, buku, folder, poster, baliho.  Media Elektronik; al. radio spot, film, tayangan televisi, sandiwara radio, iklan layanan masyarakat, cyber extention.
  • Materi Penyuluhan Kehutanan adalah bahan penyuluhan di bidang kehutanan yang akan disampaikan oleh para penyuluh kehutanan kepada pelaku utama dan pelaku usaha dalam berbagai bentuk yang meliputi informasi, teknologi, rekayasa sosial, manajemen, ekonomi, hukum, dan kelestarian lingkungan.
  •  Pelaku utama adalah masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan antara lain petani hutan, petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, penangkar flora dan fauna, beserta keluarga intinya.Pelaku usaha adalah perorangan warganegara Indonesia atau korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha kehutanan.Sasaran antara adalah pemangku kepentingan lainnya yang meliputi kelompok atau lembaga pemerhati kehutanan, generasi muda dan tokoh masyarakat.
  • Media Penyuluhan Kehutanan adalah alat dan atau bahan yang digunakan dalam kegiatan penyuluhan kehutanan
  •  A. Prinsip Materi Penyuluhan
  •   1. Materi penyuluhan kehutanan harus memenuhi prinsip : a. Telah terbukti kebenarannya baik melalui analisis oleh para ahli maupun telah teruji; b. Mempunyai manfaat yang besar bagi pelaku utama, pelaku usaha dan sasaran antara; c. Disusun secara sistematis dan sederhana agar mudah dipahami oleh pelaku utama, pelaku usaha, dan sasaran antara; d. Bersifat praktis supaya dapat diterapkan oleh pelaku utama, pelaku usaha, dan sasaran antara; e. Merupakan teknologi yang dianjurkan yang disesuaikan kondisi setempat, kemampuan pembiayaan, dan sarana-prasarana yang tersedia.
  •  2. Materi penyuluhan harus disesuaikan dengan kebijakan dan program pemerintah serta menunjang kegiatan peningkatan usaha di bidang kehutanan.
  •  B. Unsur dan Substansi Penyuluhan1. Materi penyuluhan kehutanan berisi unsur : a. pengembangan sumber daya manusia, b. peningkatan modal sosial budaya, c. ilmu pengetahuan dan teknologi d. informasi, e. ekonomi, f. manajemen, g. hukum, dan h. pelestarian lingkungan.
  • Pengembangan sumber daya manusia yang dimaksud pada butir a antara lain peningkatan semangat, wawasan, kecerdasan, keterampilan serta ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan dan membentuk kepribadian yang mandiri. Peningkatan modal sosial budaya sebagaimana dimaksud pada butir b antara lain untuk mengembangkan kondisi sosial dan kesadaran kultural dengan memperhatikan adat setempat sehingga meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan melalui pembentukan kelompok, gabungan kelompok/asosiasi, manajemen, kepemimpinan, akses modal dan akses informasi.
  • Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada butir c berkaitan dengan upaya peningkatan produktivitas, efisiensi dan efektivitas dan usaha bidang kehutanan dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan kearifan lokal. Informasi sebagaimana dimaksud pada butir d antara lain berupa pengetahuan yang didapatkan dari proses pembelajaran, pengalaman atau instruksi, kebijakan, inovasi, teknologi, akses modal, akses pasar, dan informasi-informasi lain yang dapat meningkatkan kapasitas pelaku utama, pelaku usaha dan kelompok sasaran antara.
  • Ekonomi sebagaimana dimaksud pada butir e berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya hutan yang meliputi antara lain, modal, sarana produksi, akses potensi sumber daya, peluang usaha, ekonomi kreatif, akses informasi pasar, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Manajemen sebagaimana dimaksud dalam butir f antara lain untuk meningkatkan kemampuan mengelola usaha menuju kemandirian masyarakat.
  •  Hukum sebagaimana dimaksud pada butir g antara lain pemberian informasi tentang peraturan perundang-undangan sehingga masyarakat menyadari hak dan kewajibannya khususnya yang berkaitan dengan bidang kehutanan. Pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud dalam butir h berkaitan dengan pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya kelestarian sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan bagi kesejahteraan masyarakat.
  •  2. Substansi Penyuluhan a. Materi penyuluhan kehutanan yang bersifat substantif kegiatan pembangunan kehutanan diutamakan berupa materi kegiatan pengelolaan hutan. b. Kegiatan pengelolaan hutan merupakan kegiatan mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, meliputi :  Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, Rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan Perlindungan hutan dan konservasi alam.

METODE PENYULUHAN KEHUTANAN

METODE PENYULUHAN KEHUTANAN
 
Ragam metode penyuluhan kehutanan dapat dibedakan menurut ; media yang digunakan, hubungan penyuluh dan sasaran serta pendekatan psikologi yang dilakukan penyuluhnya. Ragam metode penyuluhan kehutanan cukup banyak, tinggal bagaimana seorang penyuluh kehutanan dapat menganalisis masalah yang dihadapi masyarakat tani hutan, kondisi sosial ekonominya dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan pemanfaatan hutan oleh masyarakat. 
Adapun ragam metode penyuluhan kehutanan itu, yaitu sebagai berikut : 
1. Metode individu, kontak tani hutan, kelompok tani hutan, himpunan tani 
a) Metode individu 
Individu kunci adalah individu yang maju ( inovatif), termasuk dalam golongan “penerap dini” yang atas dasr kesadarannya bersedia (tanpa menuntut upah) bekerja sama sebagai rekan sekerja penyuluh kehutanan untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan kehutanan bagi warga masyarakat sekitar (terutama dilingkungan sosialnya sendiri). 
Metode penyuluhan individu adalah metode yang menggunakan individu-individu sebagai sasaran utama penyuluhan. Artinya, di dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan, penyuluh selalu melakukan kontak pribadi secara berkelanjutan dengan individu-individu kecil tersebut untuk kemudian selaras dengan karakteristik individu seperti yang dikemukakan di atas, mereka diharapkan dapat meneruskan kegiatan penyuluhan tersebut kepada seluruh warga masyarakat sebagai penyuluh “sukarela”. 
Metode ini sangat efesien karena penyuluh tidak perlu berhadapan langsung dengan seluruh warga masyarakat dan lebih efektif karena penyuluhan dilakukan sendiri oleh individu yang sudah dikenal, diakui dan dipanuti oleh masyarakat setempat. 
b) Kontak tani hutan 
Anggota kelompok tani hutan biasanya merupakan petani pemilik lahan garapan atau penggarap lahan orang lain, pengalamannya dalam berusaha tani telah banyak, dinamis dan mempunyai pandangan yang positif terhadap teknologi pemanfaatan hutan yang baru karena keinginannya untuk mencapai peningkatan dalam produksinya memanfaatkan lahan dan hutan. Seorang kontak tani mempunyai pengaruh positif dilingkungan perkampungannya. 
Kontak tani hutan terdiri dari sekumpulan petani (biasanya terdiri dari 15 orang) yang mempunyai kepentingan bersama dalam usaha tani. Organisasinya bersifat non formal, namun demikian dapat dikatakan kuat karena dilandasi oleh kesadaran bersama dan azas kekeluargaan. Biasanya menjadi motor dalam kelompok ini adalah kontak tani hutan yang hubungannnya dengan para anggota kelompok itu demikian erat dan luwes dan atas dasar kewajaran. Kelompok tani hutan terbentuk atas dasar kesadaran , jadi tidak secara terpaksa. Kelompok ini menghendaki terwujudnya pemanfaatan hutan dengan cara bijaksana, terutama memanfaatkan lahan untuk kegiatan pertanian, misalnya dengan sistem Agroforestry, usaha tani yang optimal dan keluarga tani yang sejahtera dalam pengembangan hidupnya. 
Adapun fungsi kelompok tani hutan, yaitu sebagai wadah terpeliharanya dan berkembangnya pengetahuan dan keterampilan serta kegotong-royongan. Fungsi ini terjabarkan dalam kegiatan ; pengadaan saran produksi (saprodi) yang murah dengan cara melakukan pembelian secara bersama (massal); pengadaan bibit tanaman yang resisten untuk kepentinga para angotanya dengan jalan mengusahakan kebun bibit bersama; mengusahakan kegiatan pemberantasan/pengendalian hama/penyakit tanaman secara terpadu; guna kepentingan bersama berusaha memperbaiki prasarana-prasarana yang menunjang usaha taninya (saluran air, terasering lahan, penanggulangan erosi, perbaikan jalan setapak, dll; menyelenggarkan demonstrasi cara bercocok tanam dengan mengkombinasikan tanaman hutan dan tanaman pertanian (Agroforestry), cara mengatasi ham/penyakit tanaman yang dilakukan bersama penyuluh kehutanan; dan mengadakan pengolahan hasil secara bersama agar terwujud kualitas yang baik dan seragam dan kemudian mengusahakan pula pemasaran secara bersama agar terwujud harga yang baik dan seragam. 
c) Himpunan tani 
Himpunan tani merupakan organisasi para petani yang formal, beranggaran dasar dan berpengurusan yang layak. Para anggotanya terdiri dari kelompok petani-petani yang ada di pedesaan atau disekitar areal hutan/pertanian. Kegiatannya pun tak jauh berbeda dengan kelompok tani yaitu sebagai media masyarakat tani yang berkembang dengan dinamis, sebagai alat untuk mewujudkan perubahan-perubahan baru yang maju dilingkungan para petani dan sebagai wadah penyatuan aspirasi yang sehat sesuai dengan keinginan atau hati nurani para petani. Surat kabar, radio, dan televisi, majalah tentang kehutanan, pamflet, leaflet, dan poster merupakan media mati dalam kegiatan penyuluhan kehutanan.