Primata
kecil ini sering disebut sebagai monyet terkecil di dunia, meskipun
satwa ini bukan monyet. Sedikitnya terdapat 9 jenis Tarsius yang ada di
dunia. 2 jenis berada di Filipina sedangkan sisanya, 7 jenis terdapat di
Sulawesi Indonesia. Yang paling dikenal adalah dua jenis yang terdapat
di Indonesia yaitu Tarsius tarsier (Binatang Hantu / Kera Hantu) dan Tarsius pumilus (tarsius kerdil, krabuku kecil atau Pygmy tarsier). Kesemua jenis tarsius termasuk binatang langka dan dilindungi di Indonesia.
Nama Tarsius diambil berdasarkan ciri fisik tubuh mereka yang
istimewa, yaitu tulang tarsal yang memanjang, yang membentuk pergelangan
kaki mereka sehingga mereka dapat melompat sejauh 3 meter (hampir 10
kaki) dari satu pohon ke pohon lainnya. Tarsius juga memiliki ekor
panjang yang tidak berbulu, kecuali pada bagian ujungnya. Setiap tangan
dan kaki hewan ini memiliki lima jari yang panjang. Jari-jari ini
memiliki kuku, kecuali jari kedua dan ketiga yang memiliki cakar.
Tarsius memang layak disebut sebagai
primata mungil karena hanya memiliki panjang sekitar 10-15 cm dengan
berat sekitar 80 gram. Bahkan Tarsius pumilus atau Pygmy tersier
yang merupakan jenis tarsius terkecil hanya memiliki panjang tubuh
antara 93-98 milimeter dan berat 57 gram. Panjang ekornya antara 197-205
milimeter.
Ciri-ciri fisik tarsius yang unik lainnya adalah ukuran matanya yang
sangat besar. Ukuran mata tarsius lebih besar ketimbang ukuran otaknya.
Ukuran matanya yang besar ini sangat bermanfaat bagi makhluk nokturnal
(melakukan aktifitas pada malam hari) ini sehingga mampu melihat dengan
tajam dalam kegelapan malam.
Tarsius
juga memiliki kepala yang unik karena mampu berputar hingga 180 derajat
ke kanan dan ke kiri seperti burung hantu. Telinga satwa langka ini pun mampu digerak-gerakkan untuk mendeteksi keberadaan mangsa.
Sebagai makhluk nokturnal, tarsius hanya beraktifitas pada
sore hingga malam hari sedangkan siang hari lebih banyak dihabiskan
untuk tidur. Oleh sebab itu Tarsius berburu pada malam hari. Mangsa
mereka yang paling utama adalah serangga seperti kecoa, jangkrik. Namun
terkadang satwa yang dilindungi di Indonesia ini juga memangsa reptil
kecil, burung, dan kelelawar.
Habitatnya adalah di hutan-hutan Sulawesi Utara hingga Sulawesi
Selatan, juga di pulau-pulau sekitar Sulawesi seperti Suwu, Selayar,
Siau, Sangihe dan Peleng. Di Taman Nasional Bantimurung dan Hutan
lindung Tangkoko di Bitung, Sulawesi Utara. Di sini wisatawan secara
mudah dan teratur bisa menikmati satwa unik di dunia itu. Tarsius juga
dapat ditemukan di Filipina (Pulau Bohol). Di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Tarsius lebih dikenal oleh masyarakat
setempat dengan sebutan “balao cengke” atau “tikus jongkok” jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia.
Tarsius menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas pohon. Hewan ini
menandai pohon daerah teritori mereka dengan urine. Tarsius berpindah
tempat dengan cara melompat dari pohon ke pohon dengan lompatan hingga
sejauh 3 meter. Hewan ini bahkan tidur dan melahirkan dengan terus
bergantung pada batang pohon. Tarsius tidak dapat berjalan di atas
tanah, mereka melompat ketika berada di tanah.
Populasi satwa langka tarsius, primata terkecil di dunia yang hidup
di hutan-hutan Sulawesi diperkirakan tersisa 1.800. Ini menurun drastis
jika dibandingkan 10 tahun terakhir dimana jumlah satwa yang bernama
latin Tarsius spectrum ini, masih berkisar 3.500 ekor. Bahkan untuk Tarsius pumilus, diduga amat langka karena jarang sekali diketemukan lagi.
Penurunan populasi tarsius dikarenakan rusaknya hutan sebagai habitat
utama satwa langka ini. Selain itu tidak sedikit yang ditangkap
masyarakat untuk dikonsumsi dalam pesta anak muda. Binatang yang
dilindungi ini digunakan sebagai camilan saat meneguk minuman beralkohol
cap tikus.
Satu lagi, bintang langka dan unik ini sangat sulit untuk
dikembangbiakan di luar habitatnya. Bahkan jika ditempatkan dalam
kurungan, tarsius akan melukai dirinya sendiri hingga mati karena stres.
Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Mammalia; Ordo: Primata; Famili: Tarsiidae; Genus: Tarsius; Spesies: Tarsius tarsier dan Tarsius pumilus
Nama binomial: Tarsius tarsier (Erxleben, 1777) atau Tarsius spectrum (Pallas, 1779) dan Tarsius pumilus atau Pygmy tarsier
Status konservasi: Hampir Terancam
Rikha Mariyanti
Senin, 03 Februari 2014
KERA HITAM BERJAMBUL
Kera Hitam Sulawesi Endemik yang Berjambul
Kera Hitam Sulawesi merupakan jenis primata yang mulai langka dan terancam kepunahan. Kera Hitam Sulawesi yang dalam bahasa latin disebut Macaca nigra merupakan satwa endemik Sulawesi Utara.
Kera Hitam Sulawesi selain mempunyai bulu
yang berwarna hitam juga mempunyai ciri yang unik dengan jambul di atas
kepalanya. Kera yang oleh masyarakat setempat disebut Yaki ini semakin
hari semakin langka dan terancam punah. Bahkan oleh IUCN Redlist digolongkan dalam status konservasi Critically Endangered (Krisis).
Kera Hitam Sulawesi sering juga disebut monyet berjambul. Dan oleh masyarakat setempat biasa dipanggil dengan Yaki, Bolai, Dihe. Dalam bahasa Inggris primata langka ini disebut dengan beberapa nama diantaranya Celebes
Crested Macaque, Celebes Black ape, Celebes Black Macaque, Celebes
Crested Macaque, Celebes Macaque, Crested Black Macaque, Gorontalo
Macaque, Sulawesi Macaque. Dalam bahasa latin (ilmiah) Kera Hitam Sulawesi dinamai Macaca nigra yang bersinonim dengan Macaca lembicus (Miller, 1931) Macaca malayanus (Desmoulins, 1824).
Ciri-ciri Kera Hitam Sulawesi. Kera Hitam Sulawesi (Macaca nigra)
mempunyai ciri-ciri sekujur tubuh yang ditumbuhi bulu berwarna hitam
kecuali pada daerah punggung dan selangkangan yang berwarna agak terang.
Serta daerah seputar pantat yang berwarna kemerahan.
Pada kepala Kera Hitam Sulawesi (Yaki)
memiliki jambul. Mukanya tidak berambut dan memiliki moncong yang agak
menonjol. Panjang tubuh Kera Hitam Sulawesi dewasa berkisar antara 45
hingga 57 cm, beratnya sekitar 11-15 kg.
Habitat dan Tingkah Laku.
Kera Hitam Sulawesi hidup secara berkelompok Besar kelompoknya terdiri
antara 5-10 ekor. Kelompok yang besar biasanya terdiri atas beberapa
pejantan dengan banyak betina dewasa dengan perbandingan satu pejantan
berbanding 3 ekor betina.
Penyebaran Kera Hitam Sulawesi biasanya
terfokus di hutan primer pada lokasi yang masih banyak jenis pohon
berbuah yang biasa dimakan oleh satwa ini. Daya jelajahnya (home range)
selalu menuju ke satu arah dan akan kembali kearah semula dengan daya
jelajah antara 0,8–1 km.
Binatang langka ini dapat ditemui di
Sulawesi Utara di Taman Wisata Alam Batuputih, Cagar Alam Gunung
Tangkoko Batuangus, Cagar Alam Gunung Duasudara, Cagar Alam Gunung
Ambang, Gunung Lokon dan Tangale. Juga dibeberapa pulau seperti di pulau
Pulau Manadotua and Pulau Talise, Pulau Lembeh (kemungkinan telah
punah), termasuk di Pulau Bacan (Maluku).
Konservasi. Kera Hitam Sulawesi merupakan satwa yang dilindungi
di Indonesia berdasarkan UU RI No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah
RI No.7 Tahun 1999. Populasi Kera Hitam Sulawesi berdasarkan data tahun
1998 diperkirakan kurang dari 100.000 ekor. Jumlah ini diyakini semakin
mengalami penurunan. Penurunan popolasi ini sebagian besar diakibatkan
oleh perburuan liar.
Karena jumlah populasinya yang semakin menurun, IUCN Redlist memasukkan Kera Hitam Sulawesi dalam daftar status konservasi Critically Endangered (kritis) sejak tahun 2008. Dan CITES juga memasukkan satwa endemik ini sebagai Apendix II.
Klasifikasi ilmiah. Kerajaan: Animalia; Filum: Chordata; Kelas: Mammalia; Ordo: Primata; Famili: Cercopithecidae; Genus: Macaca;Spesies: Macaca nigra. Nama binomial Macaca nigra
Anoa..
Anoa adalah satwa endemik pulau Sulawesi, Indonesia. Anoa juga menjadi fauna identitas provinsi Sulawesi Tenggara. Satwa langka dan dilindungi ini terdiri atas dua spesies (jenis) yaitu: anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) dan anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis).
Kedua satwa ini tinggal dalam hutan yang jarang dijamah manusia. Kedua
spesies anoa tersebut hanya dapat ditemukan di Sulawesi, Indonesia.
Diperkirakan saat ini terdapat kurang dari 5000 ekor yang masih bertahan
hidup. Anoa sering diburu untuk diambil kulitnya, tanduknya dan
dagingnya.
Baik Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi) maupun Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) sejak tahun 1986 oleh IUCN Redlist dikategorikan dalam binatang dengan status konservasi “Terancam Punah” (Endangered; EN) atau tiga tingkat di bawah status “Punah”.
Secara umum,
anoa mempunyai warna kulit mirip kerbau, tanduknya lurus ke belakang
serta meruncing dan agak memipih. Hidupnya berpindah-pindah tempat dan
apabila menjumpai musuhnya anoa akan mempertahankan diri dengan mencebur
ke rawa-rawa atau apabila terpaksa akan melawan dengan menggunakan
tanduknya.
Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis)
sering disebut sebagai Kerbau kecil, karena Anoa memang mirip kerbau,
tetapi pendek serta lebih kecil ukurannya, kira-kira sebesar kambing.
Spesies bernama latin Bubalus depressicornis ini disebut sebagai Lowland Anoa, Anoa de Ilanura, atau Anoa des Plaines. Anoa yang menjadi fauna identitas provinsi Sulawesi tenggara ini lebih sulit ditemukan dibandingkan anoa pegunungan.
Anoa dataran rendah dapat hidup hingga
mencapai usia 30 tahun yang matang secara seksual pada umur 2-3 tahun.
Anoa betina melahirkan satu bayi dalam setiap masa kehamilan. Masa
kehamilannya sendiri sekitar 9-10 bulan. Anak anoa akan mengikuti
induknya hingga berusia dewasa meskipun telah disapih saat umur 9-10
bulan. Sehingga tidak jarang satu induk terlihat bersama dengan 2 anak
anoa yang berbeda usia.
Anoa dataran rendah hidup dihabitat mulai
dari hutan pantai sampai dengan hutan dataran tinggi dengan ketinggian
1000 mdpl. Anoa menyukai daerah hutan ditepi sungai atau danau mengingat
satwa langka yang dilindungi ini selain membutuhkan air untuk minum
juga gemar berendam ketika sinar matahari menyengat.
Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi)
sering disebut juga sebagai Mountain Anoa, Anoa de montagne, Anoa de
Quarle, Berganoa, dan Anoa de montaƱa. Dalam bahasa latin anoa
pegunungan disebut Bubalus quarlesi.
Anoa pegunungan berhabitat di hutan
dataran tinggi hingga mencapai ketinggian 3000 mdpl meskipun terkadang
anoa jenis ini terlihat turun ke pantai untuk mencari garam mineral yang
diperlukan dalam proses metabolismenya.
Anoa pegunungan cenderung lebih aktif
pada pagi hari, dan beristirahat saat tengah hari. Anoa sering
berlindung di bawah pohon-pohon besar, di bawah batu menjorok, dan dalam
ruang di bawah akar pohon atau berkubang di lumpur dan kolam. Tanduk
anoa digunakan untuk menyibak semak-semak atau menggali tanah Benjolan
permukaan depan tanduk digunakan untuk menunjukkan dominasi, sedangkan
pada saat perkelahian, bagian ujung yang tajam menusuk ke atas digunakan
dalam upaya untuk melukai lawan. Ketika bersemangat, anoa pegunungan
mengeluarkan suara “moo”.
Populasi dan Konservasi. Anoa semakin hari semakin langka dan sulit ditemukan. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis)
yang menjadi maskot provinsi Sulawesi Tenggara tidak pernah terlihat
lagi. Karena itu sejak tahun 1986, IUCN Redlist memasukkan kedua jenis
anoa ini dalam status konservasi “endangered” (Terancam Punah).
Selain itu CITES
juga memasukkan kedua satwa langka ini dalam Apendiks I yang berarti
tidak boleh diperjual belikan. Pemerintah Indonesia juga memasukkan anoa
sebagai salah satu satwa yang dilindungi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Beberapa daerah yang masih terdapat satwa
langka yang dilindungi ini antaranya adalah Cagar Alam Gunung
Lambusango, Taman Nasional Lore-Lindu dan TN Rawa Aopa Watumohai
(beberapa pihak menduga sudah punah).
Anoa sebenarnya tida mempunyai musuh (predator) alami. Ancaman kepunahan satwa endemik Sulawesi ini lebih disebabkan oleh deforestasi hutan (pembukaan lahan pertanian dan pemukiman) dan perburuan yang dilakukan manusia untuk mengambil daging, kulit, dan tanduknya.
Pada tahun 2000, masyarakat Kabupaten
Buton dan Konawe Selatan dibantu pihak BKSDA pernah mencoba untuk
membuka penangkaran anoa. Tetapi usaha ini akhirnya gagal lantaran
perilaku anoa yang cenderung tertutup dan mudah merasa terganggu oleh
kehadiran manusia sehingga dari beberapa spesies yang ditangkarkan tidak
satupun yang berhasil dikawinkan.
Tahun 2010 ini, Taman Nasional
Lore-Lindu akan mencoba melakukan penangkaran satwa langka yang
dilindungi ini. Semoga niat baik ini dapat terlaksana sehingga anoa
datarn rendah (Bubalus depressicornis) dan Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi) dapat lestari dan menjadi kebanggan seluruh bangsa Indonesia seperti halnya Panser Anoa buatan Pindad.
Klasifikasi ilmiah:
Kerajaan: Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Mamalia, Ordo: Artiodactyla,
Famili: Bovidae, Upafamili: Bovinae, Genus: Bubalus, Spesies: Bubalus quarlesi, Bubalus depressicornis. Nama binomial: Bubalus quarlesi (Ouwens, 1910). Bubalus depressicornis (H. Smith, 1827).
TAMAN NASIONAL LORE LINDU
Taman Nasional Lore Lindu
Danau Lindu lake in the national park
|
|
Lokasi di Sulawesi | |
Letak | Sulawesi, Indonesia |
Kota terdekat | Palu |
Koordinat | 1°31′LU 120°11′BTKoordinat: 1°31′LU 120°11′BT |
Luas | 2.180 km²[1] |
Didirikan | 1982 |
Pengunjung | 2.000(tahun 2007[2]) |
Pihak pengelola | Kementerian Kehutanan |
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) merupakan taman nasional di Indonesia yang terletak di provinsi Sulawesi Tengah dan salah satu lokasi perlindungan hayati Sulawesi. Taman Nasional Lore Lindu terletak sekitar 60 kilometer selatan kota Palu dan terletak antara 119°90’ - 120°16’ di sebelah timur dan 1°8’ - 1°3’ di sebelah selatan.
Kalau dibandingkan dengan taman nasional lain di Indonesia, ukurannya
sedang saja, Taman Nasional ini secara resmi meliputi kawasan
217.991.18 ha (sekitar 1.2% wilayah Sulawesi yang luasnya 189.000 km²
atau 2.4% dari sisa hutan
Sulawesi yakni 90.000 km²)dengan ketinggian bervariasi antara 200
sampai dengan 2.610 meter di atas permukaan laut. Taman Nasional ini
sebagian besar terdiri atas hutan pegunungan dan sub-pegunungan (±90%)
dan sebagian kecil hutan dataran rendah (±10%).
Taman Nasional Lore Lindu memiliki fauna dan flora endemik Sulawesi serta panorama alam yang menarik karena terletak di garis Wallace yang merupakan wilayah peralihan antara zona Asia dan Australia.
Taman Nasional Lore Lindu yang terletak di selatan kabupaten Donggala dan bagian barat kabupaten Poso menjadi daerah tangkapan air bagi 3 sungai besar di Sulawesi Tengah, yakni sungai Lariang, sungai Gumbasa dan sungai Palu.
Kawasan Taman Nasional Lore Lindu merupakan habitat mamalia asli terbesar di Sulawesi. Anoa, babirusa, rusa, kera hantu (Tangkasi), kera kakaktonkea, kuskus marsupial dan binatang pemakan daging terbesar di Sulawesi, musang Sulawesi hidup di taman ini. Taman Nasional Lore Lindu juga memiliki paling sedikit 5 jenis bajing dan 31 dari 38 jenis tikusnya, termasuk jenis endemik.
Sedikitnya ada 55 jenis kelelawar dan lebih dari 230 jenis burung, termasuk maleo, 2 jenis enggang Sulawesi yaitu julang Sulawesi dan kengkareng Sulawesi. Burung enggang benbuncak juga disebut rangkong atau burung allo menjadi penghuni Taman Nasional Lore Lindu.
Ribuan serangga
aneh dan cantik dapat dilihat di sekitar taman ini. Layak diamati
adalah kupu-kupu berwarna mencolok yang terbang di sekitar taman maupun
sepanjang jalan setapak dan aliran sungai.
Patung-patung megalit
yang usianya mencapai ratusan bahkan ribuan tahun tersebar di kawasan
Taman Nasional Lore Lindu seperti Lembah Napu, Besoa dan Bada.
Patung-patung ini sebagai monumen batu terbaik di antara patung-patung
sejenis di Indonesia. Ada 5 klasifikasi patung berdasarkan bentuknya:
- Patung-patung batu: patung-patung ini biasanya memiliki ciri manusia, tetapi hanya kepala, bahu dan kelamin.
- Kalamba: ini adalah bentuk megalit yang banyak ditemukan dan menyerupai jambangan besar. Mungkin ini adalah tempat persediaan air, atau juga tempat menaruh mayat pada upacara penguburan.
- Tutu'na: ini adalah piringan-piringan dari batu, kemungkinan besar penutup kalamba.
- Batu Dakon: batu-batu berbentuk rata sampai cembung yang menggambarkan saluran-saluran, lubang-lubang tidak teratur dan lekukan-lekukan lain.
- Lain-lain: mortar batu, tiang penyangga rumah dan beberapa bentuk lain juga ditemukan.
Sejarah dan Status
- Suaka Margasatwa Lore Kalamanta. 1973
- Status Biosfer. 1977
- Hutan Wisata/Hutan Lindung Danau Lindu . 1978.
- Suaka Margasatwa Lore Lindu (Perluasan Lore Kalamanta). 1981
- Pemerintah Indonesia menyatakan Lore Lindu sebagai Taman Nasional dalam Konggres Dunia mengenai Taman Nasional. 1982
- Dinyatakan sebagai Pusat Keanekaragaman Tanaman. 1994
- Status Taman Nasional akhirnya diresmikan pada tahun 1993.
- Dinyatakan sebagai bagian dari Kawasan Burung Endemik. 1998
- Dinyatakan sebagai Kawasan Ekologi Global 200. 1998
- Perluasan Barat Laut.
Hutan Wisata Danau Lindu
Hutan Wisata Danau Lindu termasuk dalam kategori wilayah Enclave Lindu dan termasuk bagian dari wilayah kecamatan Kulawi yang secara Geografis terletak di dalam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, oleh karena itu semua desa di wilayah ini berbatasan langsung dengan TNLL.
BURUNG ELANG BONDOL
Burung Elang Bondol (Haliastur Indus), populasi habitatnya selain di Sulawesi,
juga tersebar di seluruh Indonesia, kecuali di Jawa dan Bali jarang
ditemui. Populasi habitatnya sekitar pantai dan kepulauan di daerah
tropis. Juga masih dapat ditemukan di lahan basah dan hutan dataran
rendah sampai ketinggian 2000 m di pedalaman yang jauh dari pantai.
Ciri-cirinya
berukuran sedang (45 cm), berwarna putih dan coklat pirang. Burung
dewasa: kepala, leher, dan dada putih; sayap, punggung, ekor, dan perut
coklat terang, kontras dengan bulu utama yang hitam. Burung Remaja,
tubuh kecoklatan dengan coretan pada dada. Warna berubah menjadi putih
keabu-abuan pada tahun kedua, dan mencapai bulu dewasa sepenuhnya pada
tahun ketiga.
Makanan
utamanya bervariasi, diantaranya memakan kepiting, udang, dan ikan,
memangsa burung, anak ayam, serangga, dan mamalia kecil.
Berkembang
biak dengan cara bertelur 2-4 butir, dan dierami selama 28-35 hari
dengan membuat sarang dari susunan patahan batang, ranting, rumput, daun
dan sampah, di atas bangunan atau cabang pohon yang tersembunyi dengan
ketinggian 6-50 meter dari permukaan tanah. Bila bersarang di hutan
mangrove, ketinggian sarang hanya sekitar 2-8 meter.
Anak
burung Elang Bondol mulai belajar terbang dan meninggalkan sarang
sekitar umur 40-56 hari dan menjadi dewasa hidup mandiri dua bulan
kemudian.
BURUNG MADU SANGIHE
BURUNG MADU SANGIHE
Burung Madu Sangihe (Aethopyga Duyvenbodei) atau Sanghir Sunbird (Elegant Sunbird). merupakan satwa burung langka endemik Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Burung ini termasuk satu diantara burung langka Indonesia yang
berstatus endangered (terancam punah), dan karena persebarannya yang
terbatas di Kepulauan Sangihe dan beberapa pulau sekitarnya, burung
pemakan madu ini pernah dianggap sebagai burung paling langka di kawasan
Wallacea (Indonesia bagian tengah).
Karena
populasi yang semakin menurun jumlahnya dan daerah sebaran burung ini
yang terbatas dan jumlah populasinya yang semakin menurun, maka IUCN
Redlist menetapkan Burung Madu Sangihe (Elegant Sunbird) dalam status
konservasi endangered (terancam punah). Oleh Pemerintah Indonesia,
burung ini juga termasuk dalam burung yang dilindungi berdasarkan PP No.
7 Tahun 1999.
Ciri-cirinya
berukuran kecil sekitar 12 cm. Burung jantan memiliki bulu bagian
kepala atas berwarna hijau metalik dan biru, sekitar telinga berwarna
ungu kebiruan sedangkan bagian punggung berwarna kekuningan, dan tunggir
dan tenggorokan kuning. Burung betina bagian atasnya berwarna zaitun
kekuningan, sedangkan bagian tunggir, tenggorokan, dan bagian bawah
berwarna kuning. Paruhnya relatif panjang dan melengkung. Ukurannya yang
kecil dan gerakannya gesit sehingga terkadang sulit diamati. Burung ini
sering kali di dapati sendiri atau hidup berpasangan. Terkadang juga
dalam kelompok-kelompok kecil. Suara burung ini belum terdiskripsikan
dengan pasti tapi cenderung tinggi.
Makanan utamanya adalah madu, namun selain madu burung ini juga makan serangga dan laba-laba.
BURUNG KACAMATA SANGIHE
Burung Kacamata Sangihe (Zosterops nehrkorni) atau Sangihe White Eye adalah satwa burung langka endemik Pulau Sangihe – Sulawesi Utara,
yang dikategorikan terancam punah oleh IUCN Redlist dengan status
konservasi ‘ktitis’ (Critically Endangered), yaitu status tingkat
keterancaman kepunahan tertinggi, karena diperkirakan jumlah populasi
burung ini kurang dari 50 ekor burung dewasa. Burung ini merupakan salah
satu jenis dari sekitar 22an jenis burung kacamata (pleci) yang
terdapat di Indonesia.
Ciri-cirinya
berukuran kecil sekitar 12 cm. Berwarna hijau zaitun pada bagian atas
tubuh, dengan tunggir warna kuninghijau mencolok. Paruh dan kaki
berwarna jingga kepucatan.Ekor berwarna hijauhitam gelap. Dahi berwarna
hitam. lingkar mata berwarna putih agak lebar. Pipi, tenggorokan dan
penutup ekor bawah berwarna kuning cerah. bagian bawah lainnya berwarna
putihmutiara dengan sisi tubuh abuabu. Burung ini memiliki suara siulan
tipis dam halus dengan nada irama yang cepat.
Makanan utama adalah serangga dan aneka buah.
Langganan:
Postingan (Atom)